Saturday 8 January 2011

Membaca Ambisi China di Lautan

Seorang tentara Angkatan Laut China berjalan melalui kapal rudal Varyag yang berada di dok Pelabuhan Qingdao, Provinsi Shandong, China, 20 April 2010. Dalam waktu dekat, China akan meluncurkan kapal induknya yang dibangun dari kapal induk setengah jadi eks Ukraina. (Foto: Getty Images/Guang Niu)

2 Januari 2011 -- (KOMPAS): Tahun 2011 akan menjadi tahun bersejarah bagi China. Jika tak ada perubahan rencana lagi, negeri Tirai Bambu itu akan meluncurkan kapal induk pertamanya, setahun lebih awal dari perkiraan.

Seorang pejabat pemerintah pusat China mengatakan kepada Reuters, kapal induk pertama China itu akan diluncurkan sekitar awal Juli. ”Periode sekitar tanggal 1 Juli, bersamaan dengan perayaan ulang tahun Partai Komunis, adalah salah satu kemungkinan waktu (peluncuran kapal) itu,” tutur pejabat yang meminta tak disebut namanya ini.

China akan menjadi negara ketiga di Asia, setelah India dan Thailand, yang memiliki armada kapal induk. Namun, jangan bandingkan kapal induk baru ini dengan INS Viraat (berbobot 28.700 ton dalam kondisi muatan penuh; panjang 226,5 meter) milik India atau HTMS Chakri Naruebet (11.486 ton; 182,65 meter) milik Kerajaan Thailand.

Kapal induk China—yang menurut Jane’s Fighting Ships akan diberi nama Shi Lang, yakni nama laksamana China dari Dinasti Qing pada abad ke-17—berbobot 67.500 ton dengan panjang 300 meter. Dibandingkan dengan kapal induk super (supercarrier) kelas Nimitz milik Angkatan Laut Amerika Serikat, Shi Lang lebih pendek 32 meter.

Kapal ini dibangun dari bekas kapal induk Uni Soviet, Varyag, yang pembangunannya terhenti pada awal 1990-an seiring bubarnya negara adidaya komunis itu. Kapal ini sekelas dengan kapal induk Admiral Kuznetsov, yang masih menjadi satu-satunya kapal induk yang dioperasikan AL Rusia sampai saat ini.

Tahun 1998, sebuah perusahaan swasta Makau membeli kapal setengah jadi itu seharga 20 juta dollar AS dari Pemerintah Ukraina. Informasi awalnya, kapal ini akan dijadikan kasino terapung di pelabuhan Makau.

Namun, pada perkembangannya, kapal yang belum memiliki mesin, kemudi, dan perlengkapan komunikasi serta navigasi ini ternyata ditarik ke sebuah galangan kapal milik Pemerintah China di Pelabuhan Dalian, China timur laut.

Badan kapal yang mulai berkarat pun dibersihkan dan belakangan dicat dengan warna khas kapal-kapal Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China. Diduga, China membangun sendiri kapal itu menjadi kapal operasional, sebagai bagian dari latihan sebelum memproduksi kapal induk yang 100 persen buatan China.

Jika disamakan dengan Admiral Kuznetsov, Shi Lang akan mampu mengangkut 41 pesawat, terdiri atas 17 pesawat sayap tetap (fixed-wing) sekelas Sukhoi Su-33 dan Sukhoi Su-25, dan 24 helikopter (rotary wing) sekelas Kamov Ka-27. China dikabarkan sudah memesan 50 pesawat Su-33, dengan spesifikasi mampu tinggal landas dari kapal induk, kepada Rusia.

Kapal ini belum menggunakan sumber tenaga nuklir dan tak memiliki sistem ketapel uap untuk meluncurkan pesawat, seperti kapal-kapal induk utama AS. Sebagai gantinya, di ujung geladak kapal dilengkapi dengan ski-jump, atau landasan yang menyudut ke atas, membantu pesawat ”meloncat” untuk mengudara.

Sebelumnya, Dinas Intelijen AL AS memperkirakan, kapal eks Varyag itu akan digunakan sebagai basis latihan pada 2012, sebelum China meluncurkan sendiri kapal induk buatannya setelah 2015. Menurut Michael Mazza, peneliti senior dari Center for Defense Studies (www.defensestudies.org), China berencana membangun empat kapal induk—dua kapal bertenaga nuklir dan dua kapal konvensional—dalam 15 tahun.

Peluncuran kapal induk berkekuatan penuh menandai era baru strategi militer China dan membuktikan ambisi lama negara itu untuk membangun kekuatan AL ”Laut Biru” (blue-water navy), yakni AL yang mampu beroperasi jauh ke tengah samudra, memproyeksikan kekuatan militer China jauh dari rumah.

Syarat keunggulan

Ambisi ini, menurut artikel yang ditulis Ian Storey dan You Ji di GlobalSecurity.org, sudah ada sejak era Laksamana Liu Huaqing, Panglima AL China dan Wakil Ketua Komisi Militer Sentral era 1980-an.

Menurut Liu, setelah China menguasai strategi ”Laut Hijau”, (kekuatan angkatan laut untuk mempertahankan laut teritorial dan garis pantai), China harus menguasai strategi ”Laut Biru”, dengan tujuan mampu memproyeksikan kekuatan hingga kawasan barat Samudra Pasifik.

Liu percaya, satu-satunya cara menjalankan strategi ”Laut Biru” adalah dengan memiliki armada kapal induk yang mampu membawa pesawat tempur, karena keunggulan di laut hanya bisa diraih melalui superioritas dari udara. Sementara gagasan pesawat yang tinggal landas dari wilayah China daratan dan dilanjutkan dengan mengisi bahan bakar di udara dianggap terlalu rentan dari serangan musuh yang mampu menerbangkan pesawat pemburu dari kapal induk mereka.

Namun, ambisi Liu ini tak bisa langsung dikerjakan waktu itu karena pada era 1980-an, Tentara Pembebasan Rakyat China masih konsentrasi menahan ancaman Uni Soviet. Baru setelah raksasa komunis itu bubar (1991), China bisa mengalihkan perhatian ke kawasan Laut China Selatan dan Taiwan.

China membutuhkan kekuatan laut yang tangguh untuk menghadapi konflik di kawasan selatan dan tenggara ini. Gagasan membangun AL ”Laut Biru” yang diperkuat kapal induk pun bangkit lagi.

Untuk mewujudkan ambisinya itu, China membeli tak kurang dari empat kapal induk bekas, yakni HMAS Melbourne dari Australia (dibeli tahun 1985) dan tiga kapal eks Uni Soviet/Rusia, yakni Minsk (1998), Varyag (1998), dan Kiev (2000). China berniat membangun sendiri kapal induknya dengan mempelajari rancang bangun kapal-kapal induk itu. Tawaran kontrak penjualan kapal induk dari Spanyol dan Perancis ditolak oleh China.

Sebelumnya, para pengamat militer menilai, proyek kapal induk China ini terlalu ambisius dan tak akan mampu berbuat banyak untuk menandingi armada kapal induk AS, satu-satunya potensi musuh utama China jika meletus konflik di Taiwan, Korea, dan Laut China Selatan. Alih-alih coba menandingi armada AL AS, pengamat memprediksi China akan menjalankan strategi perang asimetris, yakni dengan mengembangkan peluru kendali (rudal) pelumpuh kapal induk.

Generasi terbaru rudal balistik antikapal milik China, Dong Feng (Angin Timur) DF 21D, yang mampu melesat dengan kecepatan Mach 10 dan berdaya jelajah 3.000 kilometer, diperkirakan akan mulai diuji coba tahun ini dan akan operasional dalam 3-5 tahun mendatang.

Mengubah Asia Timur jauh

Namun, kabar bahwa China juga akan meluncurkan kapal induk pertamanya tahun ini membuktikan ambisi lama itu belum hilang dan pengembangan misil pembunuh kapal induk itu hanyalah satu bagian dari strategi besar China di lautan.

Meski China selalu berkilah program pengembangan militernya adalah untuk tujuan damai dan pertahanan diri, pengoperasian armada kapal induk oleh China tak bisa tidak akan mengubah peta kekuatan di kawasan Asia Timur-Asia Tenggara.

Mazza mengingatkan, kapal induk mewakili kemampuan memproyeksikan kekuatan, yakni membawa kekuatan militer keluar dari wilayah negara itu ke titik mana pun yang ia kehendaki. Jadi sudah tidak melulu menjadi kekuatan bertahan suatu negara.

Dengan klaim teritorial China terhadap Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan dan Taiwan, dukungannya terhadap Korea Utara, dan konflik teritorial panas dengan Jepang beberapa waktu lalu, pengoperasian armada kapal induk China akan makin menguatkan dugaan selama ini bahwa China tak akan ragu-ragu menggunakan ”diplomasi kapal perang” untuk memaksakan kehendaknya sebagai kekuatan dominan di kawasan.

Storey dan You menambahkan, negara-negara anggota ASEAN, terutama yang bersengketa langsung dengan China dalam urusan Spratly dan Paracel, akan memperkuat kerja sama militer dengan AS. Sementara Jepang hampir dapat dipastikan akan membangkitkan kembali program kapal induknya, yang pernah terbukti sangat menakutkan di era Perang Dunia II.

Jet Siluman Cina J-20


Jet tempur siluman J-20 terlihat diparkir landasan setelah menjalani pengujian di Chengdu, Provinsi Sichuan. Surat kabar Jepang Asahi Shimbun mengutip pernyataan sumber militer Cina, J-20 direncanakan akan dioperasikan awal 2017. Jet siluman ini akan dipersenjatai rudal berat dan dapat mencapai Guam dengan pengisian bahan bakar di udara. Cina memerlukan waktu 10 - 15 tahun untuk mengembangkan teknologi jet tempur silumannya agar setaraf dengan jet siluman buatan Amerika Serikat F-22.

Monday 3 January 2011

CN235 Menuju Pesawat Patroli Dunia

CN235 MPA TNI AU. (Foto: Dispenau)

Pesawat CN235 produksi kerjasama antara PT. Dirgantara Indonesia dengan CASA Spanyol diharapkan menjadi pesawat patroli maritim yang digunakan oleh semua negara.

"Itu cita-cita kami," kata Dirut PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Santoso pada serah terima hasil pengujian model aerodinamika pesawat udara N219 dari BPPT kepada PT DI di Jakarta, Selasa.

Ia membantah produksi pesawat CN235 tidak berlanjut, karena saat ini PT DI sedang mengerjakan empat unit CN235 pesanan Korea Selatan untuk patroli pantai (coast guard), untuk beberapa negara lain yang tertarik dan untuk kepentingan dalam negeri TNI AL.

Pada Desember 2009 TNI AL diberitakan membeli tiga unit CN-235 MPA sebagai bagian dari rencana memiliki enam pesawat MPA sampai tahun 2014.

"CN235 sampai kini banyak dibutuhkan untuk kepentingan negara yang mengkhawatirkan permasalahan bajak laut, penyelundupan, atau imigran gelap, khususnya karena pesawat setipenya seperti Buffalo tidak diproduksi lagi," katanya.

Bahkan, untuk mengawasi Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara, baik Tentera Diraja Malaysia maupun Brunei sama-sama mengerahkan pesawat CN235 buatan PT DI, ujarnya dengan bangga.

Saat ini masih beroperasi sekitar 50 pesawat CN235 di berbagai negara buatan PT DI dan sekitar 150 unit CN235 buatan Casa Spanyol.

CN235 versi Patroli Maritim dilengkapi dengan sistem navigasi, komunikasi dan misi serta mengakomodasi rudal.

Saat ini PT DI baru saja menyelesaikan uji model aerodinamika pesawat perintis N219 berkapasitas 19 penumpang di BPPT yang sangat sesuai dengan kondisi kepulauan dan pegunungan Indonesia.

Direktur Aerostructure PT DI Andi Alisjahbana mengatakan, pengerjaan pesawat N219 dengan mesin Pratt & Whitney ini sudah selesai 35 persen, tinggal tahap tersulit persoalan pendanaan yang diharapkan menemukan solusinya pada 2011 untuk menyelesaikan 65 persen sisanya.

Di Indonesia, disebutkannya, ada 715 airport dan airfield, namun 72 persen runawaynya hanya memiliki panjang di bawah 800 meter. Sedangkan untuk penerbangan perintis terdapat 118 rute di 14 provinsi dengan 89 bandara.

AU Rusia Akan Terima 100 Jet Tempur


Su-34 Fullback.

Angkatan Udara Rusia akan menerima hingga 100 jet tempur Sukhoi hingga 2015, menurut juru bicara Kementrian Pertahanan Rusia Vladimir Drik, Minggu (2/1) dikutip kantor berita RIA Novosti.

Pemerintah telah meneken tiga kontrak dengan biro disain Sukhoi guna mengirimkan jet, ucap Drik.

50 unit jet tempur generasi 4++ Sukhoi Su-35 Flanker-E, lebih dari 10 Su-27SM Flanker dan 5 Su-30M2 Flanker-C akan diterima AU Rusia.

AU Rusia akan menerima juga 20 Sukhoi Su-34 Fullback dalam beberapa tahun kedepan, ungkap Drik.